Macam-macam Kriteria Kemiskinan
1. Kriteria Kemiskinan di Indonesia Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS)
Kemiskinan
hampir menjadi problem di hampir semua Negara. Tak perduli apakah Negara maju
atau Negara yang sedang berkembang. Tingkat kekompleksitas masalahnya pun
berbeda antar Negara menyelesaikan masalah kemiskinan. Di Indonesia, sebagai
Negara berkembang angka kemiskinan masih cukup tinggi. Karena itu, pemerintah
melalui Badan Pusat Statistik (BPS) membuat kriteria kemiskinan, agar dapat
menyusun secara lengkap pengertian kemiskinan sehingga dapat diketahui dengan
pasti jumlahnya dan cara tepat menanggulanginya.
Pengertian
kemiskinan antara satu Negara dengan Negara lain juga berbeda. Pengertian
kemiskinan di Indonesia dibuat oleh BPS. Lembaga tersebut mendefinisikan
kemiskinan dengan membuat kriteria besarannya pengeluaran per orang per hari
sebagai bahan acuan. Dalam konteks itu, pengangguran dan rendahnya penghasilan
menjadi pertimbangan untuk penentuan kriteris tersebut. Kriteria statistik BPS tersebut
adalah
1.
Tidak
miskin, mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari Rp 350.610.
2.
Hampir Tidak
Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 280.488.s/d. – Rp
350.610.- atau sekitar antara Rp 9.350 s/d. Rp11.687.- per orang per hari.
Jumlanya mencapai 27,12 juta jiwa.
3.
Hampir
Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 233.740.- s/d Rp
280.488.- atau sekitar antara Rp 7.780.- s/d Rp 9.350.- per orang per hari.
Jumlahnya mencapai 30,02 juta.
4.
Miskin,
dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala Rp 233.740.-kebawah atau
sekitar Rp 7.780.- kebawah per orang per hari. Jumlahnya mencapai 31 juta.
5.
Sangat
Miskin (kronis), tidak ada kriteria
berapa pengeluaran per orang per hari. Tidak diketahui dengan pasti berapa
jumlas pastinya. Namun, diperkirakan mencapai sekitar 15 juta.
Berdasarkan
kriteria kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menunjukan jumlah keluarga
miskin di Indonesia cukup besar. Total jumlah penduduk Indonesia kalau dihitung
dengan kriteria pengeluaran per orang hari Rp 11.687.- kebawah , mencapai
sekitar 103,14 juta jiwa. Angka kemiskinan tersebut tentu sangat besar untuk
ukuran Negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Namun, hal tersebut tak
membantu masyarakat mengatasi kekurangannya.
Selain itu,
sebaran angka kemiskinan dari BPS, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2011,
jumlah penduduk miskin di desa selalu lebih besar dibanding dengan di kota.
Salah satu sumbangan kenaikan angka kemiskinan di desa antara lain, rendahnya
tingkat pendidikan, banyak yang jadi
buruh tani karena ketiadaan lahan dan banyaknya anak dalam satu keluarga. Untuk
tahun 2011, sebaran angka kemiskinan berjumlah 63,2 % ada di desa, sedang 36,8
% berada di perkotaan. Kemiskinan di perkotaan disebabkan, lowongan kerja
sempit dan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena
itu, alangkah baiknya jika prioritas pembangunan di arahkan ke desa. Selain
memang kuantitas angka kemiskinan dan keluarga pra sejahtera masih sangat
tinggi, juga karena di desa juga kaya dengan sumber daya alam yang belum
tergarap dengan maksimal. Dengan begitu, pengangguran yang memicu angka
kemiskinan dapat ditekan. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi
keluarga, serta mengentaskan dari keluarga pra sejahtera menjadi keluarga
sejahtera.
Telah banyak
program dari pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan. Meskipun bantuan itu
tidak mendidik, karena berupa cash money,
namun sangat membantu supaya dapur tetap bisa mengepul. Program tersebut
bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam penetapan keluarga miskin yang
berhak menerima bantuan ini, pemerintah menggunakan acuan dari BPS tentang 14
(empat belas) Kriteria Kemiskinan, yaitu :
1.
Luas lantai
bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.
Jenis lantai
bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3.
Jenis
dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok
tanpa diplester.
4.
Tidak
memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5.
Sumber
penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6.
Sumber air
minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7.
Bahan bakar
untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8.
Hanya
mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9.
Hanya
membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya
sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak
sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber
penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh
tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
13. Pendidikan
tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak
memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti:
sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal
lainnya.
Melalui kriteria kemiskinan
tersebut, masih banyak keluarga di Indonesia yang masuk kategori di bawah garis
kemiskinan, keluarga pra sejahtera, keluarga miskin dan sebutan lainnya.
Pemerintah yang diberi tugas oleh kontitusi harus lebih perhatian pada keluarga
ini. Bagaimana mengentaskan kemiskinan, menghilangkan gizi buruk, menyediakan
rumah layak huni dan tentu dengan mengatasi berbagai masalah yang terkait
dengan pemicu kemiskinan. Pemerintah yang berwenang dapat membuat program dan
penyaluran bantuan setepat mungkin sesuai dengan kriteria kelurga miskin
diatas. Dengan begitu untuk mewujudkan Indonesia yang makmur akan tercapai.
Yang pada gilirannya dapat menekan angka kemiskinan sekecil mungkin.
2. Kriteria Kemiskinan menurut Menko Kesra
Metrotvnews, Jakarta:
Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono,
didampingi Sesmenko Kesra Indroyono Soesilo, dan Sekretaris Komisi
Penanggulangan Aids Nasional Nafsiyah Emboy,
mengatakan angka kemiskinan di Tanah Air pada tahun 2012 menurun bila
dibandingkan tahun sebelumnya. "Pada September 2012 angka kemiskinan 11,66
% menurun bila dibandingkan tahun 2011 sebesar 12,36 %," kata Menko Kesra
Agung Laksono, di Jakarta. Agung mengatakan hal tersebut pada acara Pengarahan
Awal Tahun 2013 kepada kementerian dan badan dibawah koordinasi Menko Kesra.
Agung juga menambahkan, menurunnya
angka kemiskinan tersebut diperoleh berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS). Menurut Agung, seluruh instansi terkait dibawah jajaran Menko Mesra
masih perlu memerlukan kerja keras untuk terus menurunkan angka
kemiskinan. Dia mengatakan berbagai
upaya yang akan dilakukan untuk mengoptimalkan implementasi program
penanggulangan kemiskinan antara lain meningkatkan efektivitas pelaksanaan
program. "Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat harus terus ditingkatkan," katanya. Selain itu, menyusun paket kebijakan
perlindungan sosial melalui peningkatan efektivitas dan perluasan
program-program penanggulangan kemiskinan. Kemudian melaksanakan program rumah
murah, listrik murah, pangan murah, dan sebagainya dalam koordinasi program.
Ditambah lagi, merumuskan indeks kesejahteraan rakyat yang pada intinya
memetakan tingkat kesejahteraan rakyat. Juga harus ada intregasi program yang
berbasis pemberdayaan masyarakat ke dalam program nasional pemberdayaan
masyarakat mandiri. Sementara itu, Agung juga menambahkan bahwa angka
pengangguran pada tahun 2011 sebesar 6,6 % menurun bila dibandingkan tahun 2010
yang sebesar 7,4 %. "Selain angka kemiskinan yang menurun, kita juga telah
berhasil menurunkan angka pengangguran di dalam negeri," katanya. Namun
demikian, kata Agung, disparitas antar provinsi terkait angka kemiskinan masih
besar terutama di wilayah Papua. "Ini menjadi catatan bagi seluruh
instansi terkait di bawah koordinasi Menko Kesra," katanya.
3. Kriteria Kemiskinan menurut Bappenas
Indikator kemiskinan
menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap
air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya
kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman,
lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga.
Keterbatasan
kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya
asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan
ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari
2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan
terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup
signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi
buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang
menderita gizi buruk.
Keterbatasan
akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan
mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar,
kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan
kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih
didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung
memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh
tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3
persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem
jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya
sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya
pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal,
kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya
pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan
kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha,
dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak
dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga.
Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan
yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran
hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan
permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih
dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan
akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan
sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah
ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota
keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya
jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3
tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan
lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung
menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000
pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya
partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan,
pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah
garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga
disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan
dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.
Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi,
menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih
besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan
rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga
miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
Berdasarkan
berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah (1)
terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu
layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan;
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan
dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan
sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam;
(10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban
kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata
kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas
dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi, dan rendahnya jaminan sosial
terhadap masyarakat.
4. Kriteria Kemiskinan menurut Keluarga
Sejahtera (KS)
Indikator dan Kriteria
Keluarga
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya
berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun
1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang
terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator
yang yang dipilih akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat
pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para
anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi,
maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga
dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional
dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.
Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan
kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
a) Keluarga Pra Sejahtera
Adalah keluarga yang belum dapat
memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan
pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.
b)
Keluarga
Sejahtera Tahap I
Adalah keluarga-keluarga yang telah
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu:
1.
Melaksanakan
ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2.
Pada umumnya
seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.
3.
Seluruh
anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah
dan bepergian.
4.
Bagian yang
terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5.
Bila anak
sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.
c)
Keluarga
Sejahtera tahap II
Yaitu keluarga-keluarga yang
disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula
memenuhi syarat sosial psikologis 6 sampai 14 yaitu :
6.
Anggota
Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
7.
Paling
kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk
pauk.
8.
Seluruh
anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun.
9.
Luas lantai
rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.
10. Seluruh
anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
11. Paling
kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai
penghasilan tetap.
12. Seluruh
anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
13. Seluruh anak
berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
14. Bila anak
hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi
(kecuali sedang hamil)
d)
Keluarga
Sejahtera Tahap III
Yaitu keluarga yang memenuhi syarat
1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan
keluarga yaitu :
15. Mempunyai
upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
16. Sebagian
dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk
tabungan keluarga.
17. Biasanya
makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk
berkomunikasi antar anggota keluarga.
18. Ikut serta
dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
19. Mengadakan
rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
20. Dapat
memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
21. Anggota keluarga
mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah
setempat.
e)
Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula
memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu :
22. Secara
teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi
kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
23. Kepala
Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
f)
Keluarga
Miskin
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan
ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau
lebih indikator yang meliputi :
a.
Paling
kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
b.
Setahun
terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
baru.
c.
Luas lantai
rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni.
g)
Keluarga
Miskin Sekali
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan
ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau
lebih indikator yang meliputi :
a.
Pada umumnya
seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
b.
Anggota
keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
c.
Bagian
lantai yang terluas bukan dari tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar