Selasa, 17 Mei 2016

Kriteria Kemiskinan



Macam-macam Kriteria Kemiskinan

1. Kriteria Kemiskinan di Indonesia Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
            Kemiskinan hampir menjadi problem di hampir semua Negara. Tak perduli apakah Negara maju atau Negara yang sedang berkembang. Tingkat kekompleksitas masalahnya pun berbeda antar Negara menyelesaikan masalah kemiskinan. Di Indonesia, sebagai Negara berkembang angka kemiskinan masih cukup tinggi. Karena itu, pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) membuat kriteria kemiskinan, agar dapat menyusun secara lengkap pengertian kemiskinan sehingga dapat diketahui dengan pasti jumlahnya dan cara tepat menanggulanginya.
            Pengertian kemiskinan antara satu Negara dengan Negara lain juga berbeda. Pengertian kemiskinan di Indonesia dibuat oleh BPS. Lembaga tersebut mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan. Dalam konteks itu, pengangguran dan rendahnya penghasilan menjadi pertimbangan untuk penentuan kriteris tersebut. Kriteria statistik BPS tersebut adalah

 
1.      Tidak miskin, mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari Rp 350.610.
2.      Hampir Tidak Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 280.488.s/d. – Rp 350.610.- atau sekitar antara Rp 9.350 s/d. Rp11.687.- per orang per hari. Jumlanya mencapai 27,12 juta jiwa.
3.      Hampir Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 233.740.- s/d Rp 280.488.- atau sekitar antara Rp 7.780.- s/d Rp 9.350.- per orang per hari. Jumlahnya mencapai 30,02 juta.
4.      Miskin, dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala Rp 233.740.-kebawah atau sekitar Rp 7.780.- kebawah per orang per hari. Jumlahnya mencapai 31 juta.
5.      Sangat Miskin (kronis),  tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang per hari. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumlas pastinya. Namun, diperkirakan mencapai sekitar 15 juta.
Berdasarkan kriteria kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menunjukan jumlah keluarga miskin di Indonesia cukup besar. Total jumlah penduduk Indonesia kalau dihitung dengan kriteria pengeluaran per orang hari Rp 11.687.- kebawah , mencapai sekitar 103,14 juta jiwa. Angka kemiskinan tersebut tentu sangat besar untuk ukuran Negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Namun, hal tersebut tak membantu masyarakat mengatasi kekurangannya.
Selain itu, sebaran angka kemiskinan dari BPS, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa selalu lebih besar dibanding dengan di kota. Salah satu sumbangan kenaikan angka kemiskinan di desa antara lain, rendahnya tingkat pendidikan, banyak yang  jadi buruh tani karena ketiadaan lahan dan banyaknya anak dalam satu keluarga. Untuk tahun 2011, sebaran angka kemiskinan berjumlah 63,2 % ada di desa, sedang 36,8 % berada di perkotaan. Kemiskinan di perkotaan disebabkan, lowongan kerja sempit dan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika prioritas pembangunan di arahkan ke desa. Selain memang kuantitas angka kemiskinan dan keluarga pra sejahtera masih sangat tinggi, juga karena di desa juga kaya dengan sumber daya alam yang belum tergarap dengan maksimal. Dengan begitu, pengangguran yang memicu angka kemiskinan dapat ditekan. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga, serta mengentaskan dari keluarga pra sejahtera menjadi keluarga sejahtera.
Telah banyak program dari pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan. Meskipun bantuan itu tidak mendidik, karena berupa cash money, namun sangat membantu supaya dapur tetap bisa mengepul. Program tersebut bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam penetapan keluarga miskin yang berhak menerima bantuan ini, pemerintah menggunakan acuan dari BPS tentang 14 (empat belas) Kriteria Kemiskinan, yaitu :
1.      Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.      Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3.      Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4.      Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5.      Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6.      Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7.      Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8.      Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9.      Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10.  Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11.  Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12.  Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
13.  Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14.  Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
            Melalui kriteria kemiskinan tersebut, masih banyak keluarga di Indonesia yang masuk kategori di bawah garis kemiskinan, keluarga pra sejahtera, keluarga miskin dan sebutan lainnya. Pemerintah yang diberi tugas oleh kontitusi harus lebih perhatian pada keluarga ini. Bagaimana mengentaskan kemiskinan, menghilangkan gizi buruk, menyediakan rumah layak huni dan tentu dengan mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan pemicu kemiskinan. Pemerintah yang berwenang dapat membuat program dan penyaluran bantuan setepat mungkin sesuai dengan kriteria kelurga miskin diatas. Dengan begitu untuk mewujudkan Indonesia yang makmur akan tercapai. Yang pada gilirannya dapat menekan angka kemiskinan sekecil mungkin.

2. Kriteria Kemiskinan menurut Menko Kesra
Metrotvnews, Jakarta: Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, didampingi Sesmenko Kesra Indroyono Soesilo, dan Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids Nasional Nafsiyah Emboy,  mengatakan angka kemiskinan di Tanah Air pada tahun 2012 menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya. "Pada September 2012 angka kemiskinan 11,66 % menurun bila dibandingkan tahun 2011 sebesar 12,36 %," kata Menko Kesra Agung Laksono, di Jakarta. Agung mengatakan hal tersebut pada acara Pengarahan Awal Tahun 2013 kepada kementerian dan badan dibawah koordinasi Menko Kesra.
Agung juga menambahkan, menurunnya angka kemiskinan tersebut diperoleh berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Agung, seluruh instansi terkait dibawah jajaran Menko Mesra masih perlu memerlukan kerja keras untuk terus menurunkan angka kemiskinan.  Dia mengatakan berbagai upaya yang akan dilakukan untuk mengoptimalkan implementasi program penanggulangan kemiskinan antara lain meningkatkan efektivitas pelaksanaan program. "Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat harus terus ditingkatkan," katanya.  Selain itu, menyusun paket kebijakan perlindungan sosial melalui peningkatan efektivitas dan perluasan program-program penanggulangan kemiskinan. Kemudian melaksanakan program rumah murah, listrik murah, pangan murah, dan sebagainya dalam koordinasi program. Ditambah lagi, merumuskan indeks kesejahteraan rakyat yang pada intinya memetakan tingkat kesejahteraan rakyat. Juga harus ada intregasi program yang berbasis pemberdayaan masyarakat ke dalam program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri. Sementara itu, Agung juga menambahkan bahwa angka pengangguran pada tahun 2011 sebesar 6,6 % menurun bila dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 7,4 %. "Selain angka kemiskinan yang menurun, kita juga telah berhasil menurunkan angka pengangguran di dalam negeri," katanya. Namun demikian, kata Agung, disparitas antar provinsi terkait angka kemiskinan masih besar terutama di wilayah Papua. "Ini menjadi catatan bagi seluruh instansi terkait di bawah koordinasi Menko Kesra," katanya.

 

3. Kriteria Kemiskinan menurut Bappenas
            Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
            Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
            Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
            Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
            Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
            Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
            Berdasarkan berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi, dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.


4. Kriteria Kemiskinan menurut Keluarga Sejahtera (KS)
Indikator dan Kriteria Keluarga
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.
Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

a)      Keluarga Pra Sejahtera
Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.
b)      Keluarga Sejahtera Tahap I
Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu:
1.      Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2.      Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.
3.      Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
4.      Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5.      Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.
c)      Keluarga Sejahtera tahap II
Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis 6 sampai 14 yaitu :
6.      Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
7.      Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.
8.      Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun.
9.      Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.
10.  Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
11.  Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap.
12.  Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
13.  Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
14.  Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)
d)      Keluarga Sejahtera Tahap III
Yaitu keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :
15.  Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
16.  Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga.
17.  Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
18.  Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
19.  Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
20.  Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
21.  Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.
e)      Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu :
22.  Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
23.  Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
f)       Keluarga Miskin
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a.       Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
b.      Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
c.       Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni.
g)      Keluarga Miskin Sekali
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a.       Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
b.      Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
c.       Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar